Selasa, 06 Agustus 2013

Ironi

بسم الله الرحمن الرحيم

Baik, sekali lagi pemuda ini tidak tahu harus membunuh waktunya dengan cara apa. Kemarin saya mendengarkan sebuah cerita bagus tentang arti pengorbanan. Antara seorang anak -yang akan tumbuh dewasa- dan sebatang pohon.
Ada seorang anak tinggal di rumah tua milik ayahnya. Di depan rumah tersebut terdapatlah sebatang pohon apel yang sudah agak tua. Dia selalu bermain-main di bawah pohon itu. Seringkali anak itu pun berbicara dengan si pohon tentang cita-citanya menjadi seorang penyair. 
Setelah beberapa tahun anak tersebut telah tumbuh remaja. Keluarganya yang cukup sederhana membuatnya tidak memiliki tabungan yang banyak. Suatu hari, dia ingin memberikan hadiah kepada wanita yang dicintainya. 
"Aku ingin membelikan sesuatu untuknya tapi aku tidak memliki uang yang cukup untuk itu", keluhnya pada si pohon. 
"Oh, aku memiliki banyak buah yang segar. Kau bisa mengambil semuanya. Jual sebagian untuk membeli kado yang indah, dan berikan sisanya agar dia bisa memakannya", kata si pohon kepada pemuda. 
"Benarkah? Terimakasih pohon. Aku berutang budi padamu", sang pemuda lalu bergegas menuju pasar untuk menjual apel-apel itu. 
Pengorbanan pohon itu berbuah manis. Pemuda itu pu mendapatkan hati wanita pujaannya dan akan menikahinya. Sementara itu, dia belum memiliki rumah untuk tempat tinggal keluarganya kelak. Dia pun kembali mengadu pada si pohon. 
"Pohon, aku akan menikah. Kini aku harus memliki rumah sendiri. Tapi pekerjaanku sebagai penyair tidak banyak menghasilkan uang untuk membeli sebuah rumah." 
"Jangan khawatir, aku mungkin tidak bisa memberikan tempat tinggal. Tapi kau bisa menebangku daan membuat rumah dari kayu-kayuku", kata sang pohon kepada pemuda tanpa ragu-ragu. 
"Apakah tidak apa-apa jika aku menebangmu?" 
"Benar, tidak apa-apa. Batangku terlalu tua untuk hidup lebih lama. Akan lebih berguna bagimu jika batang ini engkau pergunakan sebagai bahan rumahmu nanti" 
Sang pemuda itupun bergegas mengambil kapak dan menebang pohon itu, lalu membangun rumah dari kayunya.
Inilah ironi hidup. Kadang kita melupakan orang yang benar-benar mencintai kita dengan tulus dan malah memperhatikan orang lain yang sebenarnya tidak begitu memperhatikan kita.

Cobalah sesekali kita tengok orang tua kita. Orang yang telah mempertaruhkan semua yang dimilikinya, bahkan nyawanya, atau bahkan mempertaruhkan semua yang belum dimilikinya sekalipun -semisal berkorban perasaan yang akan dibahas kemudian :)). Pernahkah kita memikirkan mereka, walau hanya sedetik dalam putaran kehidupan kita?

Sedetik, iya. Sejam, mungkin iya. Sehari penuh? Belum tentu.

Jadi apakah pantas bagi kita berbicara sok bijaksana tentang cinta padahal tidakkah kita tahu itu kecuali hanya sedikit dan dangkal sekali?

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـًٔ۬ا‌ۖ وَبِٱلۡوَٲلِدَيۡنِ إِحۡسَـٰنً۬ا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua (An Nisa: 36)