Sabtu, 15 Februari 2014

Barbershop, Antara Masyarakat Kritis dan Mahasiswa Apatis

بسم الله الرحمن الرحيم

Sebenarnya ini tejadi ketika liburan belum berakhir dan saya masih di kota buaya. Berawal ketika rambut shaggy ku semakin tidak karuan. Ibu saya yang notabene perfeksionis -kayaknya hampir semua ibu gitu- memaksa saya untuk potong rambut. Maka saya pun melangkah bersama adik saya yang agak besar ke barber shop langganan saya.

Seperti biasa disana benar-benar ramai. Bukan hanya karena yang datang banyak dan hanya dilayani dua orang. Tapi memang banyak hal yang jadi perbincangan. Terutama karena menjelang pemilu April besok, banyak opini tentang politik bertaburan di ruangan itu.

Ada yang bilang percuma milih caleg itu. Buat kampanye aja udah sekian miliar. Kalau terpilih apa ndak ingin balik bondo (Jawa; arti : balik modal).

Ada lagi kalau salah satu gubernur DKI yang sekarang sedang populer itu kerjanya cuma pencitraan. Tiap blusukan mesti ada wartawan. Tapi itu dibantah orang yang bilang kalau itu ancaman untuk pihak-pihak yang tidak ingin berbenah dan cuma makan gaji buta.

Intinya kepekaan masyarakat masih terasa di ruangan itu. Di beberapa tempat lain seperti warung kopi, warung nasi, dan pangkalan ojek atau becak sering saya juga mendengar perbincangan serupa. Membuktikan bahwa masyarakat kita masih kritis dalam melihat realita yang terjadi.

Jujur, saya melihat bahwa sebagai mahasiswa -orang yang harusnya lebih terpelajar- kita kurang mengamati dan berdiskusi. Wawasan kita harusnya lebih terbuka karena kita telah belajar lebih banyak dari mereka. Dan tanggung jawab kita untuk peka dan lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Jadi masih mau tidak peduli?